Apa yang terbersit sejenak di pikiran sampeyan saat membaca judul artikel ini? Wah, jawabannya bisa macam-macam saya kira.
Sebuah advertorial terpasang memenuhi satu halaman penuh di Koran Kompas pagi ini. Sebuah surat yang ditujukan untuk semua dari beliau yang bercita-cita ingin jadi presiden negara ini. Namun, beliau bukanlah satu-satunya yang mengajukan diri menjadi pemimpin negara ini di masa datang. Ada beberapa calon lainnya yang juga sudah aktif menjual dirinya baik melalui selebaran, poster, iklan majalah, iklan koran ataupun iklan radio dan televisi. Ada yang bertema tentang petani, nelayan, anak muda, kebangsaan bahkan tak jarang pula kemiskinan menjadi barang dagangan mereka.
Ibarat pedagang, mereka berlomba-lomba memberikan penawaran yang terbaik kepada calon pelanggannya. Ya, mereka tengah menjual dirinya. Orang-orang itu bukanlah pedagang. Jadi yang ditawarkan kepada calon pelanggan bukanlah barang atau jasa. Rata-rata mereka hanya menawarkan sebuah harapan, sebuah mimpi agar menjadi lebih baik. Ah, suatu retorika yang normatif sekali. Yang lebih aneh, ada pula yang dulunya nyaris tak terdengar (apa saya aja yang kuper?), tiba-tiba sekarang menawarkan harapan macem-macem.
Tapi khan, seorang pemimpin bukanlah pedagang. Rasanya tak pantas untuk berfikir tentang untung rugi atau minimal berfikir tentang balik modal. Lantas apa tujuannya mengiklankan diri? Coba bayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk menayangkan sebuah iklan di media seperti koran dan televisi. Tentu saja tak murah bukan? Padahal biaya tersebut bisa jadi sangat berarti jika disalurkan kepada rakyat negara ini yang masih banyak di bawah garis kemiskinan. Ya, tapi khan minimal mereka perlu di kenal oleh rakyat sebagai calon pelanggannya. Pemimpin bangsa tidaklah datang secara tiba-tiba. Ia datang dari sebuah proses yang panjang. Tanpa harus beriklan secara gencar, seorang pemimpin sejati akan dengan mudah dikenal bahkan dicari dan dirindukan oleh semua orang. Rasulullah tidak pernah beriklan, tapi sampai sekarangpun beliau tetap dikenal sebagai pemimpin sejati umat.
Apakah menjual diri hanya bisa dilakukan oleh mereka?
Kenyataan menunjukan kepada kita, walapun kita telah memilih bermacam-macam tipe pemimpin, negeri ini tho tetep tak ada perubahan yang berarti. Terutama dalam hal ekonomi tentu saja. Mereka hanya over promise, under deliver. Kebanyakan janji pada saat kampanye, tapi miskin realisasi pada saat terpilih. Jadi saya pikir, Pemilu tahun depan, saya akan tawarkan pada calon pemimpin yang berani bayar paling mahal hak suara saya. Siapa yang berani menawar paling mahal, maka kepada dialah saya akan memilih.
Jika calon-calon pemimpin itu nggak ada yang berani menawar paling mahal hak pilih atas suara saya, atas dasar prinsip keadilan dan pemerataan maka saya hanya punya dua opsi. Pertama saya nggak akan memilih siapapun. Opsi yang kedua, saya akan pilih semua calon pemimpin itu. Biar adil khan? Silakan sampeyan mencemooh saya. Silakan sampeyan bilang saya mata duitan atau apalah. Yang jelas, daripada beli kucing dalam karung yang nggak jelas apa bagusnya, khan lebih baik jualan beras (kagak nyambung ya hehehe...) Jika para calon pemimpin itu boleh jualan, maka saya pun boleh dong.
Bagaimana pendapat sampeyan?
© Ilustrasi diambil dari sini.
Selasa, Agustus 05, 2008
Jual diri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
8 komentar. Sampeyan sudah?:
[..]Padahal jelas, menurut Undang-undang Pemilu, aksi ini dapat dipidana. Ancamannya hukumannya 6-24 bulan penjara. [..]
hayo lho mas... bisa kena hukuman kalo golput...
#anto
saya khan ndak bilang saya mau golput.. tapi mau jualan suara.. hayo-hayo siapa mau beli...
Over Promise ... Under Deliver.
Menarik juga, sarkasme yang dipake Mas Irwan (atau bukan sarkasme ya...).
Yang jelas, saya melihatnya sebagai pessimistic-view.
Bang, bukannya menggurui, namun fenomena yang terjadi sekarang ini (khususnya soal calon pemimpin yang sedang "jual diri"), merupakan salah satu bagian dari proses pendewasaan demokrasi dari bangsa yang masih kanak-kanak ini dalam hal memahami jati diri bangsanya sendiri dalam hal berdemokrasi.
Mengatakan bahwa over promise, kita harus sedari dulu melihat, promise seperti apa yang emang diberikan, dan derajat "kebodohan" dari pendengar/penerima promise tersebut (kalo ini, benar-benar sarkasme .... hhehehhehhe).
Under delivery, ya... emang bener sih, tapi sewajarnyalah setiap proses untuk menghasilkan produk yang baik, selalu membutuhkan esensi 'WAKTU'. dan waktulah yg sering tidak mau, kita - sebagai rakyat - memahaminya.
Intinya, .... seek your own consciousness. b'coz, in your inner being, yourself can't deceive.
Cheers,
PS: janji bisa diingkari, tapi harapan nggak boleh hilang.
#Stanley David
kata-kata over promise under deliver, ini saya kutip dari bukunya Pak Hermawan Kertajaya yang berjudul Marketing Yourself. Saya pribadi sih nggak ada masalah tentang jual diri.. welcome aja... makanya saya juga pengen jual suara juga hehehe :p
Ooooo...
dikutip dari Pak Herwaman ya ...
(pantas aja, kelihatan intellect ... hehehhe..)
anyway,
suaranya mau dijual berapa Bang ...?
(berarti, Bang Irwan ini, termasuk kelompok "tuna susila" demokrasi dong...)
masak sih, harga suara Bang Irwan, hanya senilai segupak rupiah ...
hehehehhee... just kidding ..
anyway,
It's up to you to decide ...
Jia You ...
#Stanley David
ini kosa kata baru nich, "tuna susila demokrasi"...dapet darimana bang?
emang mau nawar berapa bang? lumayanlah kalo laku, daripada salah pilih...
dibawah undang2 dasar penguasa kita memilih untuk tidak memilih
Posting Komentar