Ini adalah kali kedua saya berkunjung ke Singapore. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, dimana begitu sampai Bandara kami sudah disewakan Airport Minicab yang menjemput kami menuju ke hotel, maka kunjungan kali ini tak demikian. Maklum kunjungan sebelumnya, saya bersama rombongan dan ada bos juga.
Namun, kali ini saya berkunjung ke Singapore berdua dengan Andang, salah seorang rekan kerja -- yang bisa jadi-- ini adalah kali pertama bagi dia berkunjung disini. Tanpa jemputan, maka untuk beberapa saat kami harus celingukan sesampainya di Bandara Changi. Untunglah di negara kecil di Asia Tenggara ini semuanya serba transparan. Petunjuk arah menuju pusat kota (mereka menyebutnya dengan bandar) sangat jelas diberikan di sudut-sudut bandara. Sesampainya kami di Terminal 1 kami harus oper menggunakan kereta skylift menuju Terminal 2 (T2). Kereta ini disediakan dengan cuma-cuma. Kemudian dari T2 kami harus pindah menggunakan kereta cepat MRT menuju hotel.
Tak lupa kami harus membeli kartu bayar yang disebut EZ Link Card. Harganya untuk dewasa S$ 15 yang terdiri dari biaya kartu S$ 5 dan nilai deposit kartu yang bisa digunakan S$ 10. Penggunaan kartu ini cukup mudah, kita tinggal meletakkan saja kartu tersebut di card reader yang disediakan di stasiun atau bis kota. Kemudian begitu sampai kita juga harus meletakkan kembali kartu tersebut di card reader. Di stasiun MRT fungsi lain kartu ini adalah untuk membuka pintu masuk dan keluar, maka nilai deposit kartu akan otomatis dikurangi sesuai dengan jarak perjalanan kita. Satu kartu bisa digunakan untuk kereta, bis dan beberapa jenis taksi. Wah sungguh praktis sekali ya... kapan teknologi kayak gini ada di Jakarta. Khan asyik kita nggak perlu repot-repot bawa uang tunai kemana-mana jika bepergian.
Suatu ketika, kami sedang menuju ke China Town untuk mencari makan malam. Kebetulan untuk kesana kami harus menumpang salah satu biskota dari hotel. Setelah kami menentukan nomor bis yang harus kami tumpangi berdasarkan informasi di papan informasi yang terpasang di halte, kami pun mendapatkan bis yang dimaksud, nomor 51! Tak lupa kami dekatkan si kartu bayar ini di card reader begitu kami masuk. Sepanjang perjalanan tersebut kami berusaha mengingat-ingat rute bis sambil sesekali memeriksa peta Singapura. Maklum, orang baru, takut nyasar hehehe.. walaupun kata orang nyasar di Singapura ini pasti akan balik lagi ke tempat semula, tapi khan kami tetap harus waspada :D
Saking asyiknya kami berusaha meningkatan kewaspadaan agar jangan sampai kelewatan, eh lha kok ndilalah bis ternyata udah sampai di halte yang seharusnya kami turun. Kami pun buru-buru loncat turun dari bis. Tapi eits... ada yang janggal. Begitu kami turun, kenapa bisnya nggak mau jalan lagi... "Ah, paling sopirnya mau ngetem dulu", begitu pikir kami. Kami pun bergegas menyusuri trotoar menuju China Town.
Kejanggalan tadi kami diskusikan dengan Andang.
"Kenopo yo Ndang, bis'e mau? (Kenapa ya Ndang bisnya tadi?)"
"Mbuh mas..(nggak tau mas)", jawab Andang.
Hening.
"Eh, mas.. kartu sampeyan mau wes tuts pas metu.. (eh mas.. kartumu udah di tuts belum pas keluar tadi?"
"Ketoke aku durung..emang kudu yo (kelihatnya sih belum.. emang harus ya?)", jawabku.
"Kudu ketoke mas... aku yo durung..( harus kelihatannya mas.. aku ya belum tuh..)"
"Wes jar'ne wae Ndang.. paling gak popo bekne (Udah biarin aja Ndang, nggak papa 'kali"
"Yo wes mas.. mugo-mugo gak popo"
Padahal.... sepanjang jalan Andang berusaha berpikir positif, kalopun kenapa-kenapa khan sopirnya pasti ngejar atau nyumpahin kita hehehe ... (emang sopir metromini, Ndang??)
Setelah selesai makan malam, kita pengen melanjutkan perjalanan ke Orchard Road. Dari sini kita harus menuju stasiun terdekat. Nah, distasiun itulah baru ketahuan jawabannya. Ternyata deposit kartu kita telah berkurang drastis secara otomatis sodara-sodara... masing-masing mencapai S$5 kurangnya.. padahal ongkos bis tak lebih dari S$ 0,90 ... ampuuunnnn....
Pelajaran yang bisa ditarik dari peristiwa ini, jangan sekali-kali kebiasaan naik metromini di Jakarta dibawa ke Singapore.. sampai tujuan langsung loncat turun. Walaupun tak terlalu membahayakan jiwa Anda karena si sopir bis di Singapore akan selalu setia menunggu, tapi hal itu cukup membuat kantong Anda shock sejenak. Waspadalah.. waspadalah!!! :((
Update info:
Sepulang dari Singapore, saya kebetulan sempat berbincang dengan sopir salah satu taksi terkenal di Jakarta perihal sistem pembayaran kartu. Perusahaan taksi ini menggunakan sistem komisi terhadap sopir-sopir yang menjalankan taksinya. Sopir tsb. bilang, di perusahaan taksinya sekarang pun telah menggunakan sistem voucher yang malah dikeluhkan oleh para sopir. Lho, kok bisa? khan malah lebih enak, sopir nggak repot-repot nyari kembalian penumpang? Ternyata, bagi seorang sopir, uang yang diterima, biasanya juga termasuk digunakan untuk makan. Pernah ada cerita, temennya seharian penuh hanya mendapat voucher saja. Hal ini mengakibatkan seharian itu pula dia tak dapat makan sedikitpun karena tak dapat uang tunai. Sampai badannya pucat dan ditolong oleh rekan sopir yang lain. Coba bayangkan jika nanti sistem pembayaran kartu seperti EZ Link di Singapore diterapkan di perusahaan taksi ini???
Di perusahaan ini, voucher tak bisa diuangkan jika sopir belum sampai pool. Voucher tersebut juga tak bisa diperjualbelikan antar sopir. Jika ketahuan, manajemen perusahaan akan memberi tindakan tegas. Repot ya, ternyata sistem yang bagus kayak apapun akan sulit jika mau diterapkan di Indonesia.
Oh, inilah potret negeriku... ** sedih..
3 komentar. Sampeyan sudah?:
Dasar wong jakarta... ngono kui ...
tapi kudu bangga kang jadi wong Jakarta... macetnya paling top..
hahahaha..begitulah kalau budaya "manual" ketemu budaya "atomatis" serba kagok jadinya...., orang s'pore juga kalo naik metromini di Jakarta, dijamin kagok dan bakalan nyasar... :)
Posting Komentar