Sabtu, Agustus 09, 2008

Teori Broken Window dan kenyataan siang itu

Siang itu udara sangat panas. Debu-debu beterbangan kesana kemari. Deru suara mesin kendaraan yang memenuhi jalan semakin membuat suasana tidak nyaman. AC mobil yang kami naiki, juga tak bisa membuat udara dingin menyamankan diri. Di perempatan Mambo Tg. Priok lampu lalu lintas menunjukan warna merah. Itu artinya kendaraan kami ini harus berhenti. Didepan kendaraan kami, sebuah truk juga berhenti.

Tiba-tiba , dua orang pemuda menghampiri truk tersebut. Mereka berjongkok di kolong truk meraih-raih sesuatu. Bisa jadi bagi sebagian orang, kejadian ini merupakan hal yang lumrah terjadi jika yang di hampirinya merupakan truk tangki pembawa BBM. Maklum, banyak orang yang berusaha mencari sisa-sisa BBM di kran pengeluaran. Mereka menyebutnya dengan kencing BBM. Namun, truk yang di hampiri tersbut bukanlah truk BBM. Jadi apa yang akan diambilnya?

Tak lama kemudia, salah seorang dari pemuda tersebut mengambil sebuah pipa besi berukuran agak panjang dari kolong truk. Kelihatannya itu adalah pipa besi yang biasa digunakan oleh pengendara truk untuk pengungkit dongkrak ketika sedang ngeban. Sedangkan pemuda satunya mengambil beberapa peralatan bengkel di kolong truk tersebut, seperti kunci-kunci baut kelihatannya. Saat pengemudi hendak turun, lampu lalulintas berganti hijau. Kedua pemuda tersebut segera pergi dengan cepat.

Inilah yang sempat tertangkap kamera.
Peristiwa tersebut terjadi begitu cepat. Pak polisi yang tak jauh dari perempatan tersebut juga tak berbuat banyak. Kelihatannya pak polisi memang sengaja membiarkan kejadian tersebut.

Banyak orang bilang,"Penjahat kelas kakap, penilep uang BLBI milyaran rupiah dan para koruptor dibiarkan saja, tapi maling ayam ditangkap dan di jatuhi hukuman sangat berat. harusnya para polisi menangkap para koruptor2 itu itu dulu. jangan hanya galak pada orang-orang kecil saja.." Nah, pak polisi tadi mungkin terpengaruh oleh jargon ini, makanya maling-maling tadi dibiarkan begitu saja.

Eits... nanti dulu. Apakah memang harus seperti itu?

Alkisah, New York di tahun 1980-an merupakan kota yang menyeramkan. Bayangkan, setiap tahun terdapat 2.000 orang yang menjadi korban pembunuhan dan 600.000 orang yang melaprkan mengalami tindak kekerasan serius tiap tahunnya. Tapi seperti biasa, laporan-laporan tersebut tidak bisa ditidaklanjuti. Polisi seakan tak berdaya terhadap hal-hal ini.

Pada saat itu, di New York tersebutlah sosok David Gunn yang merupakan Direktur Urusan Perkeretaapian dan William Bratton yang merupakan komandan keamanan kereta api. Perlu diketahui, angka kejahatan tersebut diatas salah satunya terjadi di kereta api. Mulai dari pemalakan, pemerasan bahkan perusakan fasilitas-fasilitas kereta api. Sehingga total kerugian yang terjadi makin hai semakin besar.

Nah, si Gunn dan Bratton ini sepakat memulai pekerjaan-pekerjaan besar dari hal-hal yang kecil. Aksi corat-coret (vandalisme) menjadi perhatian mereka yang pertama. Tentu saja banyak orang yang meragukan, masa membenahi kinerja perkeretaapian dengan memberantas vandalisme? Apa nggak salah tuh, kayak nggak punya konsep aja. Semua orang merasa hal itu kurang tepat. Tapi Gunn dan Bratton tidak demikian.

Bagi mereka, jika vandalisme berhasil diatasi, maka yang lainpun akan menyusul. Maka mereka berdua pun jalan terus. Sebuah rute mereka pilih dan diujung jalan dibangun sebuah pos pembersihan. Begitu ditemukan sebuah gerbong yang jadi korban vandalisme, maka segera dibersihan di pos tersebut. Kereta yang sudah bersih akan dijaga sepanjang waktu. Gunn tahu persis, preman membutuhkan waktu 3 hari untuk beraksi. Hari pertama mereka membuat cat dasar, hari kedua memsang pola dan hari ketiga mereka mulai mencorat-coret.

Mereka membiarkan mengisi 3 hari tersebut sampai aksi corat-coret menjadi kenyataan. Tapi begitu jadi, maka hari itu juga akan dibersihkan sehingga tak ada lagi jejak mereka untuk di lihat orang lain. Pesan yang ingin disampaikan jelas, aksi vandalisme tak ada tempatnya lagi. maka, sejak saat itu vandalisme pun berangsur-angsur berkurang dan lenyap sama sekali.

Seiring dengan hal itu satu persatu fasilitas di perbaiki. Beberapa penumpang yang memiliki kebiasaan naik kereta tanpa karcis juga ditangkap, diborgol dan dijejer di loket antrian sehingga menjadi tontotan banyak orang. Kemudian orang-orang ini dibawa ke kantor polisi dengan sebelumnya di permalukan di depan orang banyak. Belakangan diketahui, satu dari sepuluh orang yang naik kereta tanpa karcis, memiliki kecenderungan kriminal. Ada yang membawa senjata tajam, narkoba dan sebagian punya catatan kriminal. Dan disitulah, para polisi menemukan penjahat-penjahat yang mereka cari seperti pencuri, pemadat, perampok, pemerkosa, pengedar uang palsu dan sebagainya.

Jadi, sudah tak selayaknya jargon diatas dipakai lagi. Kenyataannya, mustahil memberantas kejahatan-kejahatan besar jika kejahatan-kejahatan kecil dibiarkan begitu saja. Kejahatan kecil hanyalah awal saja dari kejahatan besar. Teori ini dikenal dengan Teori Broken Windows.

Bratton dan Gunn benar. Angka kejahatan di tahun 1996 merosot 75% dibanding dengan 10 tahun sebelumnya dan orang jadi lebih aman berjalan di New York.

Bagaimana dengan di Jakarta?

Selasa, Agustus 05, 2008

Jual diri

Apa yang terbersit sejenak di pikiran sampeyan saat membaca judul artikel ini? Wah, jawabannya bisa macam-macam saya kira.

Sebuah advertorial terpasang memenuhi satu halaman penuh di Koran Kompas pagi ini. Sebuah surat yang ditujukan untuk semua dari beliau yang bercita-cita ingin jadi presiden negara ini. Namun, beliau bukanlah satu-satunya yang mengajukan diri menjadi pemimpin negara ini di masa datang. Ada beberapa calon lainnya yang juga sudah aktif menjual dirinya baik melalui selebaran, poster, iklan majalah, iklan koran ataupun iklan radio dan televisi. Ada yang bertema tentang petani, nelayan, anak muda, kebangsaan bahkan tak jarang pula kemiskinan menjadi barang dagangan mereka.

Ibarat pedagang, mereka berlomba-lomba memberikan penawaran yang terbaik kepada calon pelanggannya. Ya, mereka tengah menjual dirinya. Orang-orang itu bukanlah pedagang. Jadi yang ditawarkan kepada calon pelanggan bukanlah barang atau jasa. Rata-rata mereka hanya menawarkan sebuah harapan, sebuah mimpi agar menjadi lebih baik. Ah, suatu retorika yang normatif sekali. Yang lebih aneh, ada pula yang dulunya nyaris tak terdengar (apa saya aja yang kuper?), tiba-tiba sekarang menawarkan harapan macem-macem.

Tapi khan, seorang pemimpin bukanlah pedagang. Rasanya tak pantas untuk berfikir tentang untung rugi atau minimal berfikir tentang balik modal. Lantas apa tujuannya mengiklankan diri? Coba bayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk menayangkan sebuah iklan di media seperti koran dan televisi. Tentu saja tak murah bukan? Padahal biaya tersebut bisa jadi sangat berarti jika disalurkan kepada rakyat negara ini yang masih banyak di bawah garis kemiskinan. Ya, tapi khan minimal mereka perlu di kenal oleh rakyat sebagai calon pelanggannya. Pemimpin bangsa tidaklah datang secara tiba-tiba. Ia datang dari sebuah proses yang panjang. Tanpa harus beriklan secara gencar, seorang pemimpin sejati akan dengan mudah dikenal bahkan dicari dan dirindukan oleh semua orang. Rasulullah tidak pernah beriklan, tapi sampai sekarangpun beliau tetap dikenal sebagai pemimpin sejati umat.

Apakah menjual diri hanya bisa dilakukan oleh mereka?

Kenyataan menunjukan kepada kita, walapun kita telah memilih bermacam-macam tipe pemimpin, negeri ini tho tetep tak ada perubahan yang berarti. Terutama dalam hal ekonomi tentu saja. Mereka hanya over promise, under deliver. Kebanyakan janji pada saat kampanye, tapi miskin realisasi pada saat terpilih. Jadi saya pikir, Pemilu tahun depan, saya akan tawarkan pada calon pemimpin yang berani bayar paling mahal hak suara saya. Siapa yang berani menawar paling mahal, maka kepada dialah saya akan memilih.

Jika calon-calon pemimpin itu nggak ada yang berani menawar paling mahal hak pilih atas suara saya, atas dasar prinsip keadilan dan pemerataan maka saya hanya punya dua opsi. Pertama saya nggak akan memilih siapapun. Opsi yang kedua, saya akan pilih semua calon pemimpin itu. Biar adil khan? Silakan sampeyan mencemooh saya. Silakan sampeyan bilang saya mata duitan atau apalah. Yang jelas, daripada beli kucing dalam karung yang nggak jelas apa bagusnya, khan lebih baik jualan beras (kagak nyambung ya hehehe...) Jika para calon pemimpin itu boleh jualan, maka saya pun boleh dong.

Bagaimana pendapat sampeyan?

© Ilustrasi diambil dari sini.

Minggu, Agustus 03, 2008

Soal rautan mata pensil

Bisa jadi sampeyan sama dengan saya, suka ke restoran yang satu ini. Namanya Solaria. Resto ini memang disamping lumayan enak (menurut saya) dan murah, suasana juga lumayan asyik. Walaupun kalo kita cari referensi di internet, nama restoran ini reputasinya kurang begitu bagus :(

Tapi tau ndak, ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Coba perhatikan deh kalo sampeyan sedang memesan makanan/minuman di restoran ini. Sampeyan khan dikasih daftar makanan dan sebuah pensil untuk menuliskannya menu yang dipesan. Mata pensilnya ternyata unik. Maksud saya cara merautnya itu lho. Kelihatannya seperti diraut tanpa menggunakan rautan pensil, namun menggunakan silet, cutter atau malah diraut menggunakan pisau dapur ya hehehe...

Saya jadi teringat beberapa puluh tahun yang silam. Saat saya masih menjadi murid esde yang ndeso. Rautan pensil yang dibelikan orangtua seringkali hilang. Entah ketelisut, lupa naruh atau dipinjem temen tapi lupa mbalikin. Maklum bentuk rautan pensil anak esde yang imut itu jadi sering ilangan. Begitu berulang-ulang, hingga pada akhirnya pak'e dan buk'e saya jadi bosen selalu mbeliin rautan pensil. Jadi sejak saat itu, saya meraut pensil-pensil saya dengan cutter. Dan hasil rautannya pun jadi unik tidak rapih gitu, mirip dengan pensil Solaria ini.

Tapi, seandainya benar pensil menu tersebut diraut menggunakan silet, cutter atau pisau dapur, kok menurut saya kebangeten banget ya restoran ini. Berapa sih harga rautan pensil yang agak bagusan dikit? Khan sekarang ada rautan pensil yang agak gedean yang bisa dipasang di meja. Gak mahal kok, paling 50 ribuan lah. Mosok harga segitu aja Solaria gak kuat beli. Khan bisa agak bagusan dikit rautan pensil-pensilnya. Disamping itu, juga bisa lebih cepat waktu yang diperlukan untuk meraut sebuah pensil.

Terus terang, mata saya agak sepet liat bentuk mata pensil buat nulis pesanan menu yang nggak rapih kayak gitu.